Kamis, 22 September 2011

AWAL MULA,y DISTRO/CLOTHING


Siapa sangka, dari sebuah skatepark kecil di salah satu sudut Taman Lalu Lintas Bandung (Taman Ade Irma Suyani), di awal tahun 1990-an, menjadi tempat bersejarah yang melatar belakangi perkembangan fashion anak muda Bandung dalam satu dekade terakhir ini. Skateboard kemudian menjadi benang merah yang menjadi ciri dan eksplorasi fashion dan lifestyle yang dielaborasi oleh para pelakunya dan membentuk gaya anak muda Bandung hingga saat ini.
Pertemuan di Taman Lalu Lintas membuat Didit atau dikenal dengan nama Dxxxt, Helvi dan Richard Mutter (mantan drumer Pas Band), kemudian bersepakat mengelola sebuah ruang bersama di Jalan Sukasenang Bandung. Ruang ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal yang munculnya bisnis clothing lokal untuk anak muda di Bandung. “Cari nama dit, si helvi bilang gitu..waktu itu lagi ngomong-ngomong soal Cihampelas,” Dxxxt mengawali ceritanya ketika saya bertanya darimana nama Reverse berasal. “Kenapa ya, si Cihampelas itu ngga bikin produk-produk dengan merek-merek sendiri, kenapa mereka bikin mereknya reply lah, armani lah.. kenapa ga bikin sendiri, reverse misalnya.. trus Helvi bilang nama itu bagus. Ya udah akhirnya dipakai buat nama toko.” Tahun 1994, mereka membangun studio musik dan toko yang menjual CD, kaset poster, T-shirt, majalah, poster dan asesoris band yang diimport langsung dari luar negeri. Pilihan yang spesifik, membuat barang yang dijual di Reverse, tak bisa didapatkan di toko-toko lain di Bandung pada saat itu.
Reverse pada saat itu menjadi tempat berkumpulnya komunitas-komunitas dari scene yang berbeda. Punk, hardcore, pop, surf, bmx, skateboard, rock, grunge, semua bisa bertemu di tempat itu. PAS dan Puppen adalah beberapa band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse. Richard sendiri sempat membentuk record label independen 40.1.2.4 yang rilisan pertamanya berupa album kompilasi “Masaindahbangetsekalipisan”, pada tahun 1997. Band-band yang ikut dalam rilisan itu diantaranya Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room sebagai band satu-satunya dari Jakarta yang masuk dalam kompilasi ini.
Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, bisnis yang dijalani Reverse, mengalami masa sulit sampai akhirnya tutup. Mereka tak mampu lagi membeli barang-barang dari luar negeri kerena nilai dolar terhadap rupiah melambung tinggi dan tak terjangkau. Namun kondisi sulit ini justru melahirkan fase baru dalam perkembangan industri clothing Bandung. Helvi vetaran Reverse, kemudian membangun clothing label bernama Airplane yang memulai usahanya pada tahun 1997. Bukan hanya itu, bersama Dxxxt dan Marin, Helvi membangun record label bernama Fast Foward pada tahun 1999.
Airplane yang didirikannya bersama dua rekannya yang lain: Fiki dan Colay, resmi berdiri pada tanggal 8 Februari 1998. “Awalnya sih kita udah ngga mampu lagi beli barang-barang impor karena mahal dan krisis moneter. Waktu itu kita mikir, kita bikin apa ya? Soalnya kalau beli, ngga ada yang cocok, pengen kaos yang kaya gini ngga ada.. yang gitu ngga ada.. awalnya dari situ, ya udah kita bikin sendiri deh yang pasti dengan background masing-masing. Semua dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari yang kita senangi aja.. biasanya dari skateboard, trus kita juga main musik, trus itu mempengaruhi ke grafis desain clothing itu sendiri. Jadi emang akhirnya macam-macam.” Jelas Helvi ketika saya temui di kantor Airplane di jalan Titiran Bandung.
Transformasi Reverse sebagai clothing company, dimotori oleh Dxxxt pada bulan Februari 2004. Didukung oleh Marin, Wendi Suherman dan Indra Gatot sebagai mitra usahanya. Reverse kemudian menjelma menjadi label yang memfokuskan dirinya pada fashion untuk pria. Urban culture yang menjadi keseharian tim kreatifnya, menjadi inspirasi dalam desain produk-produk Reverse.
Sementara kegemaran skateboard, bmx dan surfing yang ditekuni Dandhy dan teman-temannya, justru memotivasi mereka untuk membuat produk-produk yang mendukung hobi yang mereka cintai. Bukan hal yang mudah untuk menemukan fashion penunjang kegiatan surfing di Bandung pada saat itu. Maka tahun 1996, dari rumah di dago 347 Bandung, mereka mulai memproduksi barang-barang yang menunjang hobi mereka untuk digunakan sendiri. Ternyata apa yang mereka pakai, menarik perhatian teman-teman mereka. Seperti halnya Airplane, dengan modal patungan seadanya mereka mulai memproduksi barang-barang yang mereka desain untuk kebutuhan hobi mereka itu, untuk dijual di kalangan teman-teman mereka sendiri dengan label ‘347 boardrider co.’ Toko pertamanya dibuka pada tahun 1999 dan diberi nama ‘347 Shophouse’ di Jalan Trunojoyo Bandung. Demikian pula Ouval yang muncul di tahun 1998. Awalnya juga dibentuk dengan semangat untuk mengelaborasi hobi skateboard para pendirinya.
Hobi dan semangat kolektivisme terasa sangat kuat mewarnai kemunculan clothing label dan clothing store pada masa itu. Masih di tahun 1996, Dadan Ketu bersama delapan orang temannya yang lain membentuk sebuah kolektif yang diberi nama Riotic. Kesamaan minat akan ideologi punk, menyatukan ia dan teman-temannya. Riotic menjadi label kolektif yang memproduksi sendiri rilisan musik-musik yang dimainkan oleh komunitas mereka, menerbitkan zines, dan membuka sebuah toko kecil yang menjadi distribusi outlet produk kolektif yang mereka hasilkan. Riotic juga dikenal konsisten dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan musik punk rock dan underground yang saat itu kerap diselenggarakan di Gelora Saparua Bandung.

Generasi Global

Saat saya menceritakan apa yang dilakukan anak-anak muda Bandung dengan industri clothingnya, pada teman saya, seorang penulis buku “Lubang Hitam Kebudayaan”_ sebuah buku yang mencermati perkembangan budaya massa di Indonesia sampai fase reformasi 1998_Hikmat Budiman, dia berkomentar “Anak Bandung itu jago menyerap desain ‘arsitektur’ global, dibanding dengan anak muda di kota lain. apa yang terjadi di tingkat global, bisa diterjemahkan dan disiasati oleh mereka dan dijadikan komoditas gaya hidup baru dan menjadi trend. Mereka mendefinisikan kembali coolness yang sesuai dengan konteks mereka. selain itu juga ada pasar yang menyerap komoditas baru itu.”
Jika dicermati lebih jauh, apa yang terjadi di bandung pada dekade 90an, memang tak bisa lepas dari kecenderungan global pada saat itu. Musik dan gaya hidup, sebagai dua hal yang tak terpisahkan, memberi pengaruh sangat besar dalam perkembangan fashion anak muda Bandung. Sejak generasi Aktuil di tahun 70’an, Bandung dikenal sangat adaptif pada perkembangan musik dunia. Ketika merunut aliran musik apa saja yang berkembang dalam dekade 90’an, kita bisa melihat bagaimana perkembangan musik itu mempengaruhi eksplorasi anak muda Bandung di bidang fashion. Grunge, yang dipengaruhi oleh punk, muncul di awal tahun 90’an. Sepatu Doc Martens, Converse high top sneaker dan kemeja flanel yang menjadi trend fashion sampai pertengahan tahun 90. Pada kenyataan flanel di gunakan para musisi beraliran grunge ini karena murah dan hangat. Saat grunge kemudian digantikan oleh musik alternatif di pertengahan 90’an dan Nu-Metal yang dimotori oleh Korn sampai menjelang akhir 1990, fashion ini masih terbawa. Hip hop yang banyak digemari para skateboarders dan mempengaruhi perkembangan musik R&B memberi warna lain pada dekade itu. Scene hardcore atau scenecore atau disebut juga emo dan gaya yang dibawa aliran musik pop punk yang dipengaruhi membawa trend fashion yang bersilangan diantara keduanya dan dipengaruhi oleh gelombang ketiga pop punk yang dipelopori oleh Green Day, Good Charlote, Simple Plan.
Extreme sport (diantaranya skateboarding dan surfing), mencapai popularitasnya di tahun 1995. ESPN sebagai saluran extreme sport dan hanya dapat ditonton melalui antena parabola, menjadi salah satu rujukan para skateboarder Bandung pada saat itu. Rujukan lain seperti majalah Thrasher, yang mencitrakan skateboarding sebagai olah raga yang didasari oleh semangat pemberontakan dan akrab dengan ideologi punk, sementara Transworld Skateboarding terasa lebih moderen, beragam dan menjaga citra para bintang skateboarding. Termasuk juga masuknya MTV ke Indonesia yang memperkenalkan lifestyle baru dengan jargon-jargonnya: ‘MTV beda’, ‘MTV Gue Banget’. Perbedaan menjadi komoditas yang dirayakan bersama-sama.
Ketika awal 90’an, fashion skateboarding dunia dipengaruhi oleh perkembangan street skateboarding yang sangat kental nuansa punk rocknya. Baggy dengan oversize denim dan t-shirt extra large menjadi trend pada saat itu. Sementara pertengahan sampai akhir tahun 1990an, trend fashion dalam dunia skateboarding berubah lebih ‘ramping’. Ukuran jeans dan T-shirt, menjadi lebih pas di badan. Bahkan beberapa skateboarder menggunakan jeans dan t-shirt ekstra ketat. Perubahan ini membuat gaya fashion dalam dunia skateboarding terbagi menjadi dua kategori: “punk” (ketat dan ngepas badan) dan “baggy” meski pada prakteknya pembagian itu menjadi sedikit lebih rumit. Celana shagging jeans atau baggy, sweater dari bahan katun atau poliester dengan pull over dan kantong kangguru di depannya atau disebut juga hoodie, baseball caps, dan sepatu vans. Gaya skate punk inilah yang kemudian banyak dieksplorasi dalam desain clothing anak-anak muda Bandung. Majalah katalog seperti Suave, yang terbit di Bandung dengan jelas memperlihatkan pengaruh itu. Pada akhir 90’an apa yang disebut “punk style clothing” menjadi tagline baru dalam perkembangan industri clothing global. Gaya punk kemudian menjadi sesuatu yang mainstream, mendunia dan menjadi mapan.
“Kita emang banyak dipengaruhi oleh musik yang kita sukai, dari label-label skateboard yang kita pakai dulunya, karena kita besarnya, growing upnya di situ. Karena musik ini kan sangat terkait dengan fashion,” Helvi yang juga creative director Airplane, mengakui hal itu.
Pendapat helvi diperkuat Arian tigabelas, mantan vokalis Puppen dan kini menjadi vokalis band Seringai “Ada fenomena yang menarik ceuk urang mah, dulu Bandung terkenal dengan band-band yang keren-keren tapi waktu berlalu dan rupanya band nggak terlalu menghasilkan/menghidupi, dan kini para pelaku band tersebut pindah ke clothing. Jadinya terus terang band Bandung yang punya nama ‘gede’ sekarang udah ngga signifikan. Tapi clothing jadi industri yang lebih jelas bisa menghidupi iya, karena main band ternyata tetap kere sementara realitanya musti punya modal hidup.”
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam dekade 90’an, menjadi faktor penting dalam proses yang disebut Hikmat Budiman sebagai penyerapan desain arsitektur global. Ketika tahun 1995 bisnis Internet Service Provider (ISP) mulai berkembang di Jakarta, menurut catatan Kompas, Bandung menjadi salah satu dari tiga kota pengguna jasa internet terbesar. Jika saat itu tercatat di ada sekitar 14 ribu pemakai internet di Indonesia, Bandung menjadi kota pengguna internet terbesar ketiga (1.000 pengguna), setelah Jakarta (10.000 pengguna) dan Surabaya (3.000 pengguna). Bagaimana kemudian perkembangan teknologi informasi ini diserap dalam waktu yang hampir bersamaan di Bandung. Belanja online yang dilakukan Reverse untuk memperoleh produk-produk import yang mereka jual kembali di Bandung. Juga yang dilakukan Anonim yang muncul tahun 1999, mengikuti jejak pendahulunya dengan menjual t-shirt import merchandise band yang dipesannya melalui internet.
Dalam perkembangannya, eksplorasi desain clothing anak-anak muda Bandung, banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang terasa lebih eklektik dan eksperimental. Majalah Trolley (alm 2001-2003), sempat menerbitkan suplemen khusus mengenai gaya street fashion Jepang ini dalam salah satu edisinya.
Pergeseran kiblat kreatif global dari Amerika ke Inggris/Eropa dalam tiga tahun terakhir ini, juga terasa pengaruhnya. Perubahannya sangat jelas terasa dalam scene musik. Street culture Inggris dan Eropa kemudian menjadi sumber rujukan baru dalam mengelaborasi desain produk-produk clothing kemudian. Tahun 2006 ini, Fast Foward record, telah dua kali mendatangkan grup musik dari Eropa untuk pentas di Bandung_King of Convinience (Norwegia) dan Edson (Swedia).
Ketika masa kekuasaan Orde Baru berakhir, kehidupan sosial politik Indonesia mengalami banyak perubahan di era reformasi. Warga Bandung memperlihatkan pola relasi yang baru dengan ruang-ruang publik yang ada di kota Bandung. Beragam aktivitas dan perayaan dilakukan di jalan. Jalanan seperti Dago, menjadi catwalk publik yang mengundang siapa pun yang datang untuk menampilkan gaya dandanan mereka. Individu kemudian mendapat ruang untuk mengekspresikan diri. Saat itu, banyak pertunjukan-pertunjukan musik yang kemudian disponsori oleh clothing company yang mulai memiliki kemampuan ekonomi.
Selain karena minat pada musik yang mereka sponsori, acara-acara seperti itu kemudian menjadi salah satu strategi bersama untuk mempromosikan merek produk-produk clothing yang mereka buat. Monik, Celtic dan Popcycle management, dikenal secara berkala menyelenggarakan konser La Viola bekerjasama dengan pusat Kebudayaan perancis (CCF) bandung. Marin, selain menjadi salah satu pemilik Monik, Celtic, Fast Foward, Reverse clothing Company, juga memiliki TRL bar di Jalan Braga. dari bar kecil itu pula, eksplorasi musik elektronik yang banyak mewarnai perkembangan musik global beberapa tahun terakhir ini, banyak dilakukan. Salah satu pilihannya adalah sekolah Drum n Bass yang dimotori oleh DJ xonad, jenis electronic dance music ini berkembang di Inggris pada dekade 90’an dan semakin dikenal pada awal tahun 2000 serta berkembang di beberapa negara Eropa dalam dua tahun terakhir ini.
“Karena Bandung kotanya kecil, jadi mau ngapa-ngapain gampang… lagian orang-orangnya kekeluargaan, cair banget, babaturanlah, semua dianggap sama,” Ujar Dede anonim, seperti saya kutip dari tulisan Gustaff H. Iskandar, ‘Fuck You! We’re from Bandung. Kondisi inil, masih menurut Gustaff, membawa berkah istimewa bagi perkembangan musik dan juga street fashion di Bandung. Dan mendorong pertumbuhan clothing store (distro) di Bandung.

Sumber = http://monggodotkom.blogspot.com/